Noah benci libur sekolah kali ini. Terdengar berlebihan memang, benci adalah kata-kata yang memiliki arti cukup kuat. They said, hate is a strong word. Pemuda itu tahu kalau dirinya terlalu melebih-lebihkan perasaannya. Noah hanya merasa perasaannya masih menyangkut kepada persoalan Abigail. Menyedihkan.
"Ck! Kalau lo ngajak gue video call cuma buat melamun doang, gue tutup nih?!"
Noah ditarik dari lamunannya kemudian menatap Yanan yang berada pada layar ponselnya. Dua puluh menit yang lalu, Noah tiba-tiba saja melakukan video call dengan Yanan yang tengah sibuk berbaring di kamar hotelnya. Yanan yang masih sedikit memiliki rasa iba kepada sahabatnya itu, mau tidak mau meladeni Noah. Tapi sayang waktu dua puluh menit milik Yanan malah dihabiskan untuk menonton Noah yang sibuk melamun menatap entah apa yang ada di hadapan sang pemuda galau itu.
"Tutup aja."
Yanan melotot mendengar balasan Noah. Wah, sahabatnya itu benar-benar tahu cara memancing amarahnya.
"Yaelah, minimal lo tuh minta maaf gitu kek!"
Noah memilih abai dan malah sibuk memasang kepingan lego di hadapannya. Sayup-sayup Noah bisa dengar suara Yanan yang memakinya dengan suara pelan.
"Go outside, dude! Ini liburan! Sisa seminggu lagi kita libur! Pergi kek lo sana ke dufan atau Singapur yang deket!"
Noah menghela napasnya.
"Nggak minat liburan."
Yanan berdecak heran. "Lo tuh bener-bener ya...."
"No, inget loh ya, lo udah janji sama dia. Kalau sekarang dia tau lo begini, mungkin dia ogah nepatin janji dia."
Noah yang kepalanya menunduk fokus pada lego di tangannya langsung mengadah untuk menatap ponselnya yang ia posisikan berdiri bersandar pada tumpukan buku di atas meja.
"Mana bisalah! Dia harus tepatin janji dia," kata Noah sewot. Yanan menatap Noah jengah setengah mendecih.
"Ya kalau lo mau dia tepatin janji, ya lo juga haruslah! Janji lo sama dia apa kemaren pas lo cerita ke gue? You've promised her to live your life and focus with yourself. Bener apa bener?!"
"Come on, dude! Jangan begini. You're just making it hard for yourself, lo tau itu kan? Lo, Russell, Asher, Peter, nggak bisa begini terus. Semakin lo begini, semakin terasa lama dan berat ngelakuinnya."
Noah hanya melirik sekilas ke arah Yanan dan kembali menunduk pada kerjaannya. Yanan yang melihat pergerakan sahabatnya itu memutar bola matanya malas. Bukan apa-apa, tapi Yanan kesal bercampur jengkel. Maksudnya, mereka sudah bertemu Abigail dan sudah bicara dengan gadis itu. Kemarin, sebelum Yanan berangkat pergi berlibur, Yanan dan papanya menyambangi rumah Noah dan mendengar cerita keempat anak kembar itu saat di malam terakhir mereka di Australia.
As much as Yanan love his best friends, tidak pernah terpikirkan oleh Yanan kalau keempat sahabatnya itu akan bertindak sejauh itu hanya untuk bicara dengan Abigail. Menurut Yanan, mereka bertindak ceroboh dan kelewat batas. Yanan jadi agak tidak suka dengan cara mereka. Tapi karena sudah terjadi, Yanan tidak bisa berbuat banyak. Ingin berbicara banyakpun, sudah terlalu terlambat.
Itu mengapa sekarang ini Yanan menahan segala perasaan jengkel.
Tidak mendengar suara Yanan—padahal Noah sejujurnya sudah menunggu cowok itu untuk mengoceh— membuat Noah melirik ke arah layar ponselnya.
"It's not easy—"
"Gak ada yang bilang itu gampang, Noah William Harris! Semua orang juga paham kalau itu susah karena lo udah peduli sebesar itu ke Abigail dan udah sesayang itu sama dia sebagai seorang adek! Paham, Noah, gue paham. Cuma kalau lo baru mulai aja udah loyo duluan, ya mau kapan lo mulainya?" Yanan memotong ucapan Noah secepat kilat.
Yanan tidak akan membiarkan Noah menang dengan alasannya itu.
"Noah, dia ada bersama orang-orang yang sayang sama dia dan tau banget caranya melindungi dia. Sebelum lo ketemu dia, hidupnya dia baik-baik aja bahkan setelah kecelakaan yang terjadi sama dia dan mamanya. Dia berhasil bangkit dengan orang-orang yang sekarang ini ada bareng dia. Tanpa lo dan kembaran lo, tanpa gue, tanpa Gisella, tanpa bantuan bokap-nyokap gue ataupun bokap-nyokap lo. Lo nggak punya alasan untuk khawatir soal itu, karena lo dan kita semua tau kalau she is in good hands."
Ceramah singkat dari Yanan itu membuat tangan Noah terkepal kuat. Noah tersinggung mendengarnya, ada rasa ingin marah dengan Yanan, tapi Noah tidak punya alasan untuk marah karena dirinya tahu kalau ucapan pemuda yang kini sedang bersenandung itu benar adanya.
"I hate it that you are right."
Yanan terkekeh kecil. "Dude, GUE SELALU BENAR!" celetuk Yanan sombong. Noah memutar bola matanya malas. "Whatever. Gue mau lanjut ngerakit lego. Bye."
Noah langsung memutuskan panggilannya tanpa menunggu balasan Yanan dan kemudian melempar ponselnya ke atas kasur.
Setelah selesai makan pagi—dan reuni singkat Abigail dengan Yoshiah— mereka kembali ke hotel untuk beristirahat. Tadi Tobias bilang, mereka akan berjalan-jalan sore nanti.
Abigail yang baru saja bangun dari tidurnya—Abigail langsung mandi dan tidur sesaat mereka tiba di hotel— sedang memakai pelembab bibir di atas kasurnya. Jazriel ada di belakangnya, sedang menyisir rambut Abigail.
Hari sudah sore, Jensen yang bangun pertama langsung membangunkan semua orang untuk bersiap. Jensen sudah memiliki setumpuk rencana yang ia catat pada ponselnya.
"Kak," panggil Jensen sambil duduk di depan Abigail dengan kacamata hitamnya.
"What?"
"Lo nggak mau ngajak temen lo yang tadi? Siapa tuh namanya? Yoshi?" tanya Jensen.
Abigail mengerutkan keningnya. "Ngapain juga gue ngajak dia?"
"Yaaaa ... ajak aja gitu, siapa tau bisa nunjukin jalan."
"Jensen, there's this thing called google maps."
Jensen berdecak. "Ya tapi kalau ada orang yang bisa bantu kan lebih enak!"
"Ya iya sih, cuma masa gue jadiin temen gue sendiri tour guide sih? Lagian ya, dia kerja tau!"
"Tanyain dulu lah! Dia tadi bilang cuma paruh waktu, tuh!" kata Jensen. Abigail menatap Jensen curiga. "Lo kenapa tiba-tiba jadi ngebet pengen ketemu temen gue?" tanya Abigail sambil menyipitkan matanya.
Jensen melihat itu langsung cengengesan.
"He seems fun!"
"Asal banget! Kenapa sih?"
"Tadi temen lo itu bilang ke Jensen kalau ada toko jual komik sama manga gitu deh. Cuma gak bilang tempatnya di mana. Udah gitu tadi, temen lo ngasih tau tempat-tempat yang jadi referensi di anime yang dia baca," celetuk Jazriel. "Udah kak, coba ngaca," lanjut Jazriel sambil turun dari atas kasur.
Abigail tersenyum sambil mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan mendekat ke arah cermin. "Pantesan! Ada maunya ternyata! Nggak!" balas Abigail menanggapi ucapan Jensen.
"KOK GITU SIH?! Come on! The more the merrier!"
"Agenda ngewibu lo tuh, ditahan bisa nggak?!"
"NGGAK! Kita cuma punya tiga hari, jadi gue harus memanfaatkan ini dengan baik!"
Abigail berdecak namun kepalanya tetap menggeleng.
"PLEASEEEE???" mohon Jensen sambil berdiri di samping Abigail dengan kedua tangan terlipat dan wajah memelas.
Abigail menatap Jensen dari pantulan cermin sambil menggaruk tengkuknya bingung. "Aduhhh! Ntar deh gue tanyain!"
"HELL YEAH! Thank you!" balas Jensen semangat sambil mengecup pipi Abigail singkat kemudian berjalan keluar menuju kamarnya sendiri.
Abigail terkekeh kecil lalu menatap Jazriel yang sedang duduk di sofa sambil menyesap air mineralnya.
"You have a weird twin."
"And he is your brother," balas Jazriel singkat sambil terkekeh.