Good Night

Elisa.
7 min readFeb 2, 2023

--

"Sometimes I feel like I should just slap her so she can stop bugging me," keluh Amira menyelesaikan cerita pertengkarannya dengan sepupunya sendiri. Sharon dan Abigail terkekeh kecil.

"Violence is not the answer, Mir," celetuk Abigail sambil merobek kertas cupcake di tangannya. Celetukan Abigail membuat Amira mengerucutkan bibirnya.

TOK! TOK! TOK!

"Come in!" seru Sharon tanpa berniat bangkit dari duduknya. Abigail, Sharon, dan Amira menoleh ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan sesosok Sebastian Lenoir, sahabatnya Jazriel, masuk dengan senyuman lebar.

"Greetings, Ladies!"

Sharon memutar bola matanya malas. "He really sent you here, huh?" tanya Sharon sambil mengelap bibirnya dengan tisu.

"Who?" tanya Sebastian masih dengan senyumannya seraya menaruh paper bag besar di atas meja kamar Sharon. "Jazriel," balas Sharon yang membuat Sebastian tertawa kecil.

"Not really. I actually want to crash the sleepover party!"

Amira melirik Sebastian lalu menggeleng kecil. Abigail tersenyum heran sambil membuka paper bag dan mengintip isinya.

"Jazriel sent you here?" tanya Abigail. Sebastian menggeleng. "Yes and no," balas cowok bertubuh jangkung itu sambil ikutan duduk di lantai beralaskan karpet bulu mahal bersama yang lain.

"What do you mean?" Abigail mengernyitkan keningnya bingung.

"You can open the bag, that's food for you. Well, Jazriel told me to buy you guys food for dinner so I said yes, because I actually want to come and see what are three of you doing!"

"Kenapa sih mau-mau aja disuruh Jazriel?" gumam Abigail sambil membuka kotak makanan yang dibawa Sebastian.

"Because I'm a good friend and I want to see you guys!" jawab Sebastian sambil tersenyum menatap ketiga cewek di hadapannya.

"Mau ketemu kita apa mau ketemu Abigail? Alasan terus, deh!" ledek Amira sambil berdiri untuk mengambil makanannya.

"Sembilan puluh persen mau ketemu Abigail, sisanya mau ketemu kalian berdua," balas Sebastian. Sharon mendengus. "Thanks for the food, please leave NOW, it's a girls night!" usir Sharon sambil menendang kaki Sebastian yang lurus ke arah Sharon.

"Rude! Let me stay for a while, kali!" Sebastian mengerucutkan bibirnya seraya melipat kakinya.

"Ganggu!" balas Sharon sengit.

"Biarin!" jawab Sebastian tak mau kalah.

Abigail yang sedari tadi hanya menyimak malah mendadak merasa aneh mendengar ketiga orang di depannya berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

"You guys sounds weird speaking in Indonesian," celetuk Abigail jujur.

"Ya kan?! Aku juga tau, soalnya suaraku berubah kalau aku berbicara pakai Bahasa Indonesia! Aku juga merasa aneh sendiri and it's creeping me out!" balas Amira sambil memasang ekspresi geli.

"Ya nggak selebay itu juga, sih. Cuma aneh aja," balas Abigail.

"Soalnya kita jarang bicara pakai Bahasa Indonesia. Makanya aneh. Di antara kita, yang sering bicara pakai Bahasa Indonesia itu kamu, Abigail. And I think we should talk more using Indonesian," kata Sebastian.

Abigail mengangguk-angguk. "Iya, sih. Mungkin faktor juga kali ya, karena kalau aku ngomong sama Jazriel dan Jensen, kita selalu ngomong pake bahasa yang informal dan ngomongnya juga pake gue-lo terus."

Sharon mengusap kedua lengannya heboh. "DUH! As much as I want to use gue-lo everytime I speak Indonesian, I can't! Aneh banget!" kata Sharon. Abigail tertawa melihat ekspresi wajah Sharon.

"Jangan deh, kalian aneh kalau ngomong pake gue-lo. Tapi dengerin kalian ngobrol pake aku-kamu tuh malah berasa dengerin Google translate ngomong tau!"

"Tapi kaloh guweh yang coba bicara pakai guweh-eloh gimana?" celetuk Sebastian yang langsung dilempari bantal oleh Sharon.

"STOP! WHAT WAS THAT?? THAT WAS WEIRD!" seru Sharon merinding. Abigail kian tertawa lebar bersama Amira.

"Loh, guweh sudah terdengar gawul kan?? Guweh keren tidak, Abigail??" lanjut Sebastian sambil memeluk bantal yang dilempar Sharon.

Abigail mengusap matanya yang berair masih sambil tertawa. Abigail hanya mengangguk-angguk sambil mengacungkan jari jempol ke udara.

"Tuh kan, lihat! Abigail admit kaloh guweh keren-keren saja bicara bahasa gawul!"

"STOOPPP!" seru Sharon tak sabaran sambil merangkak ke arah Sebastian lalu menjambak rambut cowok itu.

"STOP USING GUE-ELO!!"

"KENAPA GUWEH HARUS BERHENTI?! ABIGAIL MENGAKUI KALOH GUWEH SOUNDS COOL! STOP TARIK-TARIK RAMBUT GUWEH, NANTI GUWEH GOING BALD!!"

"SHUT UP! SHUT UP!"

"ADOOOHHH!! SAKIT!!! LEPASIN GUWEH!!!"

Abigail dan Amira hanya tertawa cekikikan melihat Sharon dan Sebastian sekaligus tertawa mendengar Sebastian berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. He really crashed their sleepover.

Russell, Noah, Peter, dan Asher berjalan menuruni tangga saat mendengar suara rusuh dari dapur. Hari sudah mulai gelap dan keempatnya menghabiskan hari itu dengan beristirahat setelah ditinggal oleh Jazriel dan Jensen ke sekolah tadi siang.

Dari kejauhan, keempatnya bisa melihat Jazriel, Jensen, juga Tobias yang sedang sibuk di depan kompor. Keempatnya saling berpandangan sebentar dan memilih menunda kaki mereka untuk berjalan memasuki dapur.

Di dapur sendiri, Jazriel dan Jensen tengah membantu Tobias menyiapkan makan malam seperti biasa. Walaupun ada Trisha dan para asisten rumah tangga lainnya, memasak makan malam bersama sudah menjadi hal yang Tobias selalu lakukan bersama ketiga anaknya. Biasanya Tobias akan dibantu oleh Abigail, Jazriel, dan Jensen secara bergantian sesuai jadwal yang dibuat sendiri oleh ketiga anaknya. Kalau Tobias sibuk dan tidak bisa makan malam di rumah, maka Abigail, Jazriel, dan Jensen akan masak bersama bertiga. Hal itu Tobias biasakan sejak Adina tidak ada, agar setidaknya dalam satu hari, Tobias bisa bercengkrama dengan ketiga anaknya walau hanya sebentar. Sebuah kebiasaan kecil yang bisa membantu Tobias untuk mendengarkan cerita anak-anaknya. Terlihat sepele, tapi justru dengan begitu Tobias merasa bisa 'berbicara' dengan anak-anaknya dan itu terbukti, sebab sekarang Tobias berhasil membangun komunikasi yang sangat baik dengan Abigail, Jazriel, dan Jensen.

Melihat acara memasak antara ayah dan anak itu membuat Russell, Noah, Peter, dan Asher tertegun. Di balik galak dan dinginnya Tobias dan kedua anak laki-lakinya di luar, ternyata bonding di antara mereka malah sehangat sinar mentari yang anehnya berhasil membuat Russell, Noah, Peter, dan Asher sadar mengapa Abigail bisa tumbuh menjadi sosok yang hangat dan menyenangkan.

Karena ternyata hangatnya sikap Abigail itu tercipta dari keluarganya sendiri.

Keempatnya sadar kalau Abigail dilahirkan di keluarga yang percaya satu sama lain, yang mau saling menopang, yang pantang menyerah dengan keadaan, dan punya teamwork yang luar biasa baik.

Hal yang tidak mereka punya.

Sulit untuk keempatnya agar tidak membandingkan diri mereka sendiri dengan Jazriel dan Jensen. Setelah pertemuan pertama mereka satu tahun yang lalu dengan Jazriel dan Jensen, keempatnya datang ke Australia sempat berharap semoga setidaknya ada satu hal saja yang tidak dimiliki oleh Jazriel dan Jensen, tapi mereka berempat miliki.

Tapi baru kembali bertemu saja, ternyata mereka sudah kalah.

Russell, Noah, Peter, dan Asher mencoba untuk memposisikan diri mereka apabila mereka berada di posisi Jazriel dan Jensen pada waktu itu. Dan keempatnya ternyata sadar kalau mereka berada di posisi Jazriel dan Jensen, mereka belom tentu bisa sabar seperti keduanya. Mereka akan menyerah dari awal dengan kondisi Abigail, sebab mereka tidak memiliki rasa saling percaya, mereka tidak bisa saling menopang, mereka mudah menyerah sebab ego mereka tinggi, dan mereka tidak punya kerjasama yang baik.

Menyadari betapa berbedanya mereka dengan Jazriel dan Jensen membuat keempatnya seperti ditinju di ulu hati. Keempatnya hanya bisa meringis.

"Excuse me, do you need anything?"

Lamunan keempatnya buyar saat melihat Trisha berdiri di hadapan mereka dengan alis yang terangkat sebelah.

"N-no. We're good," Russell tersenyum tipis sambil melirik ketiga kembarannya.

"Very well, then."

Trisha berlalu meninggalkan keempatnya. Asher berdeham pelan. "Ini mau masuk ke dapur apa gimana?"

Russell menggaruk tengkuknya bingung. "Enaknya gimana?"

"Gimana—"

"Oi! Ngapain di situ?"

Russell, Noah, Peter, dan Asher langsung menoleh saat mendengar suara Jensen. Tobias, Jazriel, dan Jensen tengah menatap keempatnya dengan heran.

Peter melirik kembarannya sendiri lalu tersenyum tidak enak sambil cengengesan dan berjalan memasuki dapur. "Hehehehe, nggak apa-apa. Ada yang bisa dibantu?" kata Peter menawarkan diri.

Melihat Peter yang menyelonong masuk, ketiga lainnya akhirnya ikut masuk ke area dapur.

"No need to. Ini udah selesai. Kalian bisa cuci tangan lalu duduk," kata Tobias santai sambil mematikan kompor.

Mendengar jawaban Tobias membuat keempatnya menurut. Jazriel dan Jensen menata makan malam di atas meja, lalu duduk di tempat masing-masing disusul Russell, Noah, Peter, dan Asher.

Baru saja Asher ingin menggulung lengan bajunya untuk mengambil lauk, tangan kanannya malah diambil oleh Jazriel yang sudah berpegangan tangan dengan Tobias. Hal serupa dilakukan Jensen yang meraih tangan Noah. Asher dan Noah yang bingung langsung menyambar tangan Russell dan Peter yang duduk di sebelah mereka.

"Jensen berdoa," ujar Tobias sambil menundukkan kepala diikuti Jazriel dan Jensen. Mau tak mau Russell, Noah, Peter dan Asher ikutan menunduk.

"Bless us O God, we thank you for the food before us, the friends beside us, the love between us, and your presence among us. Bless our food and our drink which we about to receive from Thy bounty. Amen."

Selesai berdoa, Jensen melirik Noah yang sudah membuka matanya sambil duduk dengan tegap, lalu terkekeh kecil. Tobias, Jazriel, dan Jensen langsung mengambil lauk sendiri-sendiri, sedangkan keempat orang lainnya masih terdiam canggung.

"Yaelah canggung amat. Nggak pernah berdoa sebelum makan ya, lu pada?" ledek Jensen cuek. Baik Russell, Noah, Peter, dan Asher tetap terdiam dengan wajah bersemu. Melihat itu, Jensen langsung melotot.

"YANG BENER AJA?!" seru Jensen. Jazriel menatap keempatnya dengan aneh, sedangkan Tobias hanya memiringkan kepalanya bingung.

Sebenarnya bukan persoalan berdoa yang membuat Asher dan Noah merasa jauh lebih kaku dan canggung. Russell dan Peter mungkin tidak mengerti, tapi ketika Jazriel dan Jensen menyambar tangan Asher dan Noah, keduanya bisa merasakan bagaimana cara Jazriel dan Jensen menggenggam tangan mereka.

Aside the fact that the ones who were holding their hands are both has the same gender as them, the way Jazriel and Jensen hold their hands felt warm, secure, and welcoming. Not in romantic way or whatsoever, but they can tell the gentleness that Jazriel and Jensen has.

Now Asher and Noah can see why Abigail feel secure and safe with their brothers.

Padahal baik Jazriel dan Jensen hanya menggenggam saja. Cara Jazriel dan Jensen menggenggam tangan, membuat keduanya merasa aman namun tidak merasa terkekang.

"Hadehhhh... gue gak tau harus ngomong apa. Udah-udah, makan!" kata Jensen lagi sambil menggeleng. Russell, Noah, Peter, dan Asher mengangguk kaku sambil mulai mengambil makanan.

Kini ada satu lagi alasan kenapa mereka sangat berbeda dari Jazriel dan Jensen. Satu hal lagi yang membuat keempatnya merasa lebih kecil.

Mereka tidak sehangat Jazriel dan Jensen.

Just when they thought they're only few steps behind Jazriel and Jensen, turned out they are far way behind them.

--

--

Elisa.
Elisa.

Written by Elisa.

hi. ok. thanks for coming.

No responses yet