Setelah membaca balasan dari teman-temannya, Charlotte terkekeh dan menggeleng. Langkah kakinya berjalan di koridor dari gudang belakang sekolah menuju aula yang terletak di tengah lingkungan kawasan sekolah.
Charlotte berniat untuk mengunjungi aula utama setelah teman-temannya menyuruhnya datang untuk mengurus anak-anak paduan suara. Begitulah derita Charlotte sebagai ketua angkatan.
Koridor dari gudang belakang memang selalu sepi karena tidak banyak orang yang lewat dari sana. Namun koridor gudang belakang bisa dilihat dari lapangan basket sekolah yang selalu ramai. Jadi walaupun koridornya sepi, tidak akan terasa menyeramkan karena masih bisa dengan jelas mendengar suara aktivitas orang-orang di lapangan.
Charlotte berjalan lurus hingga netranya menangkap Brielle, temannya, sedang berjalan dari arah berlawanan dengan membawa satu kaleng cat.
Mata Charlotte memandang gadis itu dengan was-was. Brielle itu… Ah, gimana ya Charlotte jelasinnya? Perempuan itu sebenarnya biasa saja. Cantik, populer, dan sama seperti murid kebanyakan. Tapi Brielle itu semacam punya dendam sendiri sama Charlotte.
Brielle gak pernah berhenti mengganggu Charlotte sejak kelas sepuluh. Perempuan itu pernah menyebarkan gossip soal Charlotte yang pernah jadi seorang bullying saat SMP, dia juga pernah menyebarkan gossip kalau Charlotte itu mencontek saat ujian, dan banyak hal lainnya.
Semuanya itu untung saja tidak terbukti benar. Charlotte selalu berhasil menepis semua gossip murahan tersebut. Tapi entah kenapa, Brielle gak pernah jera. Gadis itu tidak pernah kehabisan ide untuk mengganggu Charlotte. Charlotte awalnya marah, namun semakin sering, Charlotte sudah biasa saja. Teman-teman Charlotte bahkan satu sekolah juga mulai biasa saja dan bodo amat jika Brielle berulah.
It’s like they’re getting used to it now.
Charlotte masih bersabar, toh dia sebentar lagi lulus. Selama Brielle tidak bermain fisik, Charlotte tidak peduli. Persetan dengan Brielle dan segala dendamnya, Charlotte hanya ingin lulus SMA dengan tenang.
Brielle melirik ke kiri dan ke kanan saat melihat Charlotte berjalan dari arah berlawanan. Senyum miring muncul dari wajahnya. Kaki Brielle melangkah cepat semakin dekat dengan Charlotte hingga Brielle akhirnya menabrakkan dirinya dengan Charlotte cukup keras, hingga kaleng cat di tangannya jatuh dan isinya tumpah keluar.
Charlotte tidak berhasil menghindari Brielle karena semua terjadi begitu cepat. Brielle terduduk di koridor dengan seragam yang terkena tumpahan cat biru muda. Kaleng cat terbanting begitu saja, menimbulkan suara keras hingga mengundang orang-orang dari lapangan basket.
Sadar jika orang-orang mulai mendekati keduanya, Brielle langsung memegang pipinya sendiri, masih dengan posisi terduduk di lantai koridor. Perempuan itu tiba-tiba menangis keras sambil memegangi pipinya. Charlotte yang berdiri di depan Brielle mendadak ikutan panik lalu mencoba untuk memegang tangan perempuan itu.
“Charlotte?!”
Kepala Charlotte dan Brielle menoleh. Mendapati Nahuel dengan wajah terkejutnya sedang memandang ke arah keduanya.
Di belakang Nahuel, ada Jace, Hazel, Ray yang menyusul. Tidak lama murid-murid lainnya mulai datang mengelilingi keduanya, termasuk kemunculan Jorge dan Axel yang datang dengan memegang bola basket.
“C- Charlotte… a- aku salah a- apa sama kamu? S- sampe k- kamu na- nampar a- aku?” tanya Brielle sambil sesenggukan.
Kening Charlotte berkerut.
“Lo ngomong apa sih? Gue nggak ada nyentuh lo,” bantah Charlotte.
Brielle tidak membalas, malah tangisannya semakin kencang dan sesenggukan dengan dada perempuan itu yang naik turun.
“Charlotte lo kok main tangan sih?!” seru Jace kaget sambil berjalan mendekati Brielle disusul Nahuel, Ray, dan Hazel.
“I DIDN’T SLAP HER!” seru Charlotte.
“A- aku ta- tau kamu g- nggak suka sa- sama a- aku… t- tapi ke- kenapa harus m- main tang- tangan?” kata Brielle lagi.
Jace merangkul Brielle dan mengajak perempuan itu berdiri.
“Char… lo keterlaluan nggak sih? Gue tau lo gak suka sama dia, tapi kenapa main tangan?” tanya Hazel sambil menatap Charlotte tak percaya.
“Gue nggak-”
“Charlotte, nggak gini….” potong Nahuel dengan pandangan kecewa.
“Charlotte what the hell?!” seru Jorge sambil menerobos kerumunan lalu ikut membantu Brielle.
“Kak aku nggak-”
“Stop it, Charlotte. Lo keterlaluan,” ucap Axel sambil menggelengkan kepalanya.
Charlotte memandang keenam laki-laki di hadapannya dengan tatapan tak percaya. “CAN Y’ALL LISTEN TO ME FIRST?!” seru Charlotte frustasi.
Bisik-bisikan dari siswa-siswi mulai terdengar. Semua memandang Charlotte sambil berbisik dan menggeleng menatap Charlotte dengan tatapan mencela.
“Lo gila sih,” kata Ray.
“Oh? So none of you are going to listen to me?” tanya Charlotte.
Suara bisikan kian berisik. Charlotte tertawa sarkas sambil menatap keenam laki-laki yang seharusnya percaya kepadanya, namun malah memihak orang lain. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup Charlotte, semua orang tidak ada yang berpihak padanya.
Charlotte menatap ke arah kedua kakaknya, lalu menatap sepupunya Jace dan Hazel, lalu menatap Nahuel dan Ray dengan tatapan mata kecewa.
“Fine. But when the truth reveal itself, jangan cari gue. Camkan omongan gue. I have enough with all of you,” kata Charlotte sambil tersenyum miring lalu melanjutkan, “untung ya udah selesai ujian? Gue nggak perlu repot buat berada di sini lebih lama lagi, because I’m done here. Fuck you!” desis Charlotte.
Perempuan itu langsung berlari menerobos kerumunan dengan tubuh bergetar dan air mata yang memupuk.
Jangan nangis sekarang, Charlotte.