Malam semakin larut. Jam di dinding hampir menyentuh angka dua belas. Tobias masih sibuk di ruang kerjanya, berkutat dengan berkas di hadapannya. Kacamata bertengger di wajahnya, ada raut wajah lelah terpancar dari sorot matanya.
Tok tok tok!
“Daddy?” sahut Abigail sambil membuka pintu ruang kerja milik Tobias.
Tobias mengalihkan pandangannya dan menatap putri satu-satunya, “iya sayang? Come here.”
Abigail masuk ke dalam ruang kerja milik Tobias dengan secangkir teh di tangannya. Ada asap masih mengepul keluar dari atasnya.
“Daddy, it’s midnight. Stop working,” tutur Abigail.
Abigail meletakkan cangkir tehnya di atas meja di depan sofa ruang kerja milik Tobias dan duduk di single sofa yang ada.
“Alright, alright.”
Tobias menutup laptopnya dan menghampiri Abigail. Tangan Tobias terulur untuk mengusap surai milik Abigail.
“Kamu kenapa belum tidur?” tanya Tobias.
Abigail menggeleng, “I can’t sleep.”
Tobias duduk di hadapan Abigail dan mengambil cangkir tehnya, menyesap isinya sedikit.
“Thank you, baby.”
Abigail mengangguk. Hening menyelimuti keduanya, sampai Abigail menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan.
“Dad?”
“Iya sayang?”
“Abigail mau.”
“Mau?”
Abigail membasahi bibir bawahnya dan mengangguk, “mau bantuin temennya papa.”
Tobias langsung menatap Abigail kaget. Terkejut dengan ucapan Abigail.
“Are you serious, sayang? Kalau kamu nggak bisa, jangan dipaksa Abby. Papa nggak mau kalau kamu kepaksa.”
Abigail buru-buru menggeleng.
“No. Maksudku, aku nggak kepaksa sama sekali. Aku beneran mau sendiri ini. I think it would be great as well for me… errr, you know?”
Tobias masih menatap lekat wajah anaknya. “Seriusan?”
Abigail mengangguk mantap.
“Yeah. But I want to talk to your friend, dad.”
Tobias mengangguk ragu setengah khawatir. Jujur saja, Tobias tidak menyangka kalau Abigail akan menyetujui hal itu.
“I’ll let him know, darling.”
“Video call aja, takutnya nanti temennya papa salah paham, terus malah ke sini.”
Tobias lagi-lagi mengangguk.
“Tapi Jazriel sama Jensen….”
Ucapan Abigail menggantung.
“They will understand,” balas Tobias.
“Aku nggak perlu ketemu mama kan?” tanya Abigail tiba-tiba. Tobias mematung sebelum menjawab, “iya sayang, kamu nggak harus temui mama.”
Abigail gantian mengangguk.
“I’m sorry daddy.”
“Why are you sorry, Abby?”
“Maaf belum bisa nemuin mama.”
Tobias tersenyum lembut dan berpindah duduk di sebelah Abigail.
“Don’t apologize, Abby. Bukan salah kamu. Mama pasti ngerti,” kata Tobias sambil memeluk Abigail.
“Mama bakal marah nggak?”
Tobias menggeleng, “she will never be mad at you. She can’t get mad at her kids, sayang. Mama kamu sayang sama kalian.”
“I hope so.”
“Anyway, nama temen papa itu Jared. Uncle Jared for you. Papa baru ingat, dia itu ayah baptis kamu sama adek-adek,” ujar Tobias mengalihkan pembicaraan.
Abigail mendongak, “really? Aku nggak tau kalau aku punya orang tua baptis.”
“Yeah. Papa juga nggak tau kalau nggak diingetin temen papa. Papa lupa juga,” ujar Tobias sambil terkekeh. Abigail ikutan terkekeh.
“Ewww, daddy is getting old!” ejek Abigail.
“Sembarangan! Daddy masih fresh and young.”
“Whatever, dad!”